Over sixty-five million Indonesians live off the grid. But what does that mean in the era of micro-grids, batteries and efficient solar panels? And how do communities change with 24/7 energy?
Providing reliable electric power is one of the keys to unlocking the potential of the remote islands and landlocked areas of Indonesia and of Australia’s north, a priority for both countries.
How do communities change with 24/7 energy? Indonesian and Australian scientists have study sites, including villages in the Kai Islands, to find out. Credit: Max Richter
To bring sustainable energy to remote communities.
To increase the reliability of Indonesia’s urban power.
To guide Indonesia as it boosts its electricity generating capacity by 70 per cent.
To help Australia decarbonise/move away from coal.
Trials in Borneo and Kai Besar (off West Papua).
Researchers available for interview in Bahasa Indonesia and English. More images below.
Today the Indonesian Minister for Energy and Mineral Resources, Sudirman Said, will open the Indonesian Clean Energy Centre of Excellence in Bali, with Australia to be an important partner in the Centre’s new activities.
Local and national projects assessing clean energy options are underway by Indonesian and Australian scientists. Credit: Max Richter
Para peneliti bersedia untuk diwawancarai dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Dan Listrik untuk Masyarakat.
Lebih dari enam puluh lima juta rakyat Indonesia hidup tanpa listrik. Apa maknanya dalam era jaringan mikro, baterai, dan panel surya yang efisien? Bagaimana masyarakat berubah dengan listrik tersedia setiap saat?
Pasokan listrik yang andal adalah salah satu kunci untuk membuka potensi pulau-pulau terpencil dan kawasan pedalaman di Indonesia dan Australia utara, area yang diprioritaskan oleh kedua negara.
How do communities change with 24/7 energy? Indonesian and Australian scientists have study sites, including villages in the Kai Islands, to find out. Credit: Max Richter
Every shipping manager wages an endless battle against fouling – the bacteria, seaweed, barnacles and other marine life that take residence on the hull of ships. This biofouling is thought to add more than 20 per cent to the fuel costs of commercial shipping. That’s a big cost for the maritime trading nations of Australia and Indonesia.
Using lasers and a window in a ship’s hull, researchers will assess how quickly the efficiency of the ship declines, and then how to balance fuel efficiency and the cost of putting a ship in dry dock to clean it.
A ship travelling between Java and South Samatra has had 30 centimetre windows installed in its hull for the research. Credit: Nadia Astari
Para ilmuwan Surabaya dan Australia bekerja sama untuk meningkatkan efisiensi perkapalan
Para ilmuwan bersedia diwawancarai dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Liputan video dan foto kapal feri dapat dilihat di http://australiaindonesiacentre.org/media
Setiap manajer perkapalan terus-menerus berjuang memerangi fouling (proses menempelnya biota pada permukaan kapal) – yaitu bakteri, rumput laut, teritip, dan mahkluk laut lain yang mendiami lambung kapal. Biofouling ini dianggap dapat menaikkan biaya bahan bakar kapal komersial lebih dari 20 persen. Ini merupakan biaya yang besar bagi aktivitas perniagaan maritim antara Australia dan Indonesia.
Dengan menggunakan laser dan jendela di lambung kapal, para peneliti dapat menilai seberapa cepat efisiensi kapal berkurang, dan bagaimana cara menyeimbangkan antara efisiensi bahan bakar dan biaya parkir di dok apung (dry dock) untuk membersihkan kapal.
The outside of the window in the hull will need cleaning periodically by a diver. Credit: Nadia Astari